Mau Tahu Awal Mula Islam Masuk ke Indonesia?

Sejjarah Islam
Mau Tahu Awal Mula Islam Masuk ke Indonesia?

Wacana tentang masuknya Islam ke Indonesia, masih menyisakan perdebatan panjang di kalangan para ahli. Setidaknya ada tiga masalah pokok yang menjadi perbedaan. Tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Berbagai teori berusaha menjawab tiga masalah pokok ini dan nampaknya belum tuntas karena kurangnya data pendukung dari masing-masing teori. Pula, ada kecenderungan dari teori-teori yang menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspek-aspek yang lain. Paling tidak, ada tiga teori yang dikembangkan para ahli mengenai masuknya Islam di Indenesia: “Teori Gujarat”, “Teori Persia”, dan “Teori Arabia”. Teori Gujarat dianut oleh kebanyakan ahli dari Belanda. Penganut teori ini memegang keyakinan bahwa asal muasal Islam di Indonesia dari Anak Benua India, bukan dari Persia atau Arabia. Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnappel dari Universitas Leiden, Belanda. Menurut Pijnappel, aorang-orang Arab yang bermazhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India kemudian membawa Islam ke Indonesia. (Azra, 1998: 24) Teori ini kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat sebagai asal berdasarkan: Pertama, kurangya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Indonesia. Kedua, hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin lama. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatera memberikan gambaran hubungan antara Sumatera dengan Gujarat. (Suryanegara, 1998: 75) Pandangan Snouck Hurgronje yang demikian ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap para sejarawan Barat dan berpengaruh juga terhadap sejarawan Indonesia. Sampai hari ini kita masih mendapati buku terbaru yang menyebut Gujarat sebagai asal masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejalan dengan pendapat di atas ini, Moquette, seorang sarjana Belanda. Ia mendasarkan kesimpulannya setelah mengamati bentuk batu nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera yang bertanggal 17 Dzulhijjah 1831 H/27 September 1428. Batu nisan yang mirip ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w.1822/1419) di Gresik, Jawa Timur. Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa batu nisan di Cambay, Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal tetapi juga untuk diekspor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Indonesia juga mengambil Islam dari sana. (Azra,1998:24-25) Sarjana Belanda lainnya, W.F. Stuterheim menyatakan masuknya agama Islam ke Nusantra pada abad ke-13 Masehi. Pendapat ini didasarkan pada bukti batu nisan sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada tahun 1297. Selanjutnya tentang asal negara yang mempengaruhi masuknya Islam ke Indonesia adalah Gujarat dengan alasan bahwa Islam disebarkan melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay (India)-Timur Tengah–Eropa. Di samping itu, Stuterheim memperkuat alasannya bahwa relief batu nisan Sultan Malik Al-Saleh bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan batu nisan di Gujarat. (Suryanegara,1998: 76). Dengan demikian, dari pandangan para ahli di atas, baik Pijnapel, Hurgronje, Moquette, maupun Stutterheim, dapat disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari Gujarat India pada abad XIII-XIV Masehi melalui jalur perdagangan. Masih dalam konteks Teori Gujarat, J.C. Van Leur menyatakan bahwa pada tahun 674 M di pantai barat Sumatera telah terdapat perkampungan Islam. Dengan pertimbangan bahwa bangsa Arab telah mendirikan perkampungan di Kanton pada abad IV M. Perkampungan ini mulai dibicarakan lagi pada tahun 618 dan 626. Pada perkembangan selanjutnya, perkampungan ini ternyata mempraktekkan ajaran Islam seperti yang terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. (Suryanegara, ibid.) Berdasarkan keterangan Van Leur, disimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13, melainkan pada Abad ke-7. Sedangkan Abad ke-13 adalah masa perkembangan Islam. Perluasan lebih lanjut terjadi pada abad ke-16, sebagai akibat perubahan politik di India. Perkembangan Islam pada abad XIII sebagai akibat terjadinya jalur perdagangan, yang tadinya melalui Selat Sunda, berubah melewati selat Malaka. Perubahan mempengaruhi timbulnya pusat perdagangan di selat Malaka. Perluasan lebih lanjut ditunjang oleh perubahan politik di India, yakni runtuhnya kekuasaan Brahmana yang digantikan kekuatan Mongol (1526 M) dan diikuti jatuhnya kerajaan Vijayanagar (1556). Perubahan politik inilah yang mempengaruhi perkembangan Islam di Indonesia. (Suryanegara, 1998: 77). Pandangan Van Leur mempunyai kesamaan dengan pendapat TW Arnold tentang waktu masuknya Islam ke Indonesia, yaitu pada abad VII. Tetapi, Van Leur tidak dapat melepaskan pandangan bahwa Islam masuk Indonesia dari India, seperti pandangan para ahli sebelumnya. Di samping itu, mereka mengakui adanya bangsa Arab yang membawa Islam. (Suryanegara, ibid.). Leur juga menginformasikan bahwa motivasi para bupati masuk Islam adalah untuk mempertahankan kekuasaanya. Dengan demikian, informasi ini memberikan gambaran bahwa sebelumnya Islam telah menjadi agama rakyat yang kemudian disusul oleh para penguasa. Dengan demikian, kajian tentang awal masuknya Islam ke Indonesia mestinya tidak didasarkan kepada saat timbulnya kekuasaan politik, tapi perlu juga memperhatikan perkembangan Islam di tengah masyarakat. (Suryanegara, ibid.) Tetapi, pada umumnya para penulis memusatkan perhatiannya pada awal timbulnya kekusaan politik. Bernard Vlekke misalnya. Berdasarkan laporan Marcopolo yang pernah singgah di Sumatera pada tahun 1929, digambarkan bahwa situasi di ujung utara Sumatera, daerah Perlak (Aceh) penduduknya telah memeluk agama Islam. Vlekke menandaskan bahwa Perlak adalah sat-satunya daerah Islam di Indonesa waktu itu. Dari berbagai argumen teori Gujarat di atas, analisis para ahli kebanyakan bersifat India-Hindisentris, sehingga seluruh perubahan sosial-politik di India mempengaruhi langsung sosial-politik di Indoensia. Teori ini tentunya memiliki kelemahan dan menuai kritik dari para ahli yang lain. SQ Fatimi, misalnya, menyatakan bahwa argumen yang mengaitkan seluruh batu nisan di Pasai --termasuk batu nisan Malik Al-Saleh dengan batu nisan di Gujarat, diragukan. Menurut penelitiannya, batu nisan Malik Al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang terdapat di Gujarat. Batu nisan tersebut justeru mirip dengan batu nisan yang terdapat di Bengal. Karena itu seluruh batu nisan itu pasti didatangkan dari sana. Dengan demikian Islam masuk ke Indonesia dari Bengal. Namun pendapat ini dipersoalkan berkenaan dengan perbedaan mazhab. Muslim Indonesia bermazhab Syafi’i, sementara muslim di Bengal bermazhab Hanafi. (Azra, 25). Pengkritik teori Gujarat lain adalah Morisson yang menyatakan bahwa meski batu-batu nisan yang ada di Nusantara diimpor dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana. Morisson mematahkan teori ini dengan data sejarah. Raja Samudera Pasai yang melakukan Islamisasi di Pasai wafat pada tahun 1297. Padahal, Gujarat saat itu masih merupakan kerajaan Hindu, dan baru pada tahun 1298 ditaklukkan oleh penguasa muslim. Menurut Morrison, Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-13 dari Corromandel (India Timur). (Azra, 26). Pandangan ini nampaknya sejalan dengan T.W. Arnold, yang berargumen bahwa Islam Indonesia berasal dari Coromandel dan Malabar. Hal ini disokong oleh kenyataan bahwa kedua wilayah itu mempunyai kesamaan mazhab, yakni Syafi’i. Tetapi perlu juga dicatat, menurut Arnold, Coromadel dan Malabar, bukan satu-satunya asal Islam dibawa ke Nusantara, tetapi juga Arabia pada awal abad VII M. (Azra Ibid., 26-27.) Teori kedua tentang masuknya Islam di Indonesia adalah teori Persia. Pembangun teori ini di Indonesia adalah Hoesin Djajadiningrat. Teori ini menitikberatkan pandangannya pada kesamaan kebudayaan masyarakat Indonesia dengan Persia. Pandangan ini agak mirip dengan pandangan Morrison yang melihat persoalan masuknya Islam di Indonesia dari sisi kesamaan mazhab, meski berbeda asal muasalnya. Kesamaan kebudayan yang dimaksud dalam teori Persia ini adalah: Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan Syi’ah terhadap syahidnya Husain. Peringtan ini ditandai dengan pembuatan bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharam dinamakan bulan Hasan-Husein. Di Bengkulu ada tradisi Tabut, dengan mengarak keranda Husein untuk dilemparkan ke sungai atau perairan lainnya. Kedua, ada kesaman ajaran wahdatul wujud Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar dengan ajaran sufi Persia, Al-Hallaj (w.922 M). Ketiga, pengunaan istilah Persia dalam tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran, seperti jabar (Arab: fathah), huruf sin tidak bergigi (Arab: bergigi). Keempat, nisan Malik Al-Saleh dan Maulana Malik Ibrahim dipesan dari Gujarat. Argumen ini sama persis dengan argumen teori Gujarat. Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’i sama dengan mazhab muslim Malabar. Argumen ini sama dengan argumen Morisson. Pandangan ini agak ambigu karena di satu sisi ia menekankan kesamaan budaya Islam Indonesia dengan Persia, tetapi di sisi lain dalam hal pandangan mazhab ia terhenti sampai di Malabar, tidak sampai ke Mekkah, pusat mazhab Syafi’i. (Suryanegara, 91) Menjawab teori Persia ini, K.H. Saifuddin Zuhri, seorang intelektual islam dan Mantan menteri Agama RI, menyatakan sukar menerima pendapat bahwa Islam datang ke Indonesia dari Persia, apalagi bila berpedoman bahwa Islam masuk sejak abad VII, yang berarti pada masa Bani Umayyah. Saat itu tampuk kekuasaan politik dipegang oleh bangsa Arab dan pusat peradaban Islam berkisar di Mekah, Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Tidak mungkin Islam Indonesia berasal dari Persia mengingat zaman itu Islam juga baru masuk ke Persia. (Suryanegara, 91.) Dengan demikian teori Persia ini memiliki aspek-aspek kelemahan yang akan dijawab oleh teori ketiga, yakni teori Arabia. Teori ini sebenarnya merupakan koreksi terhadap teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia. Di antara para ahli yang menganut teori ini adalah T.W. Arnold, Crawfurd, Keijzer, Niemann, De Holander, Naquib Al-Attas, A. Hasymi, dan Hamka. Kedua terakhir adalah ahli dari Indonesia. Arnold menyatakan bahwa para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad awal Hijriyah, atau pada abad VII dan VIII Masehi. Meski tidak terdapat catatan-catatan sejarah, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat dalam penyebaran Islam di Indonesia. Asumsi ini lebih mungkin bila mempertimbangkan fakta-fakta yang disebutkan sumber Cina bahwa pada akhir perempatan ketiga abad VII M seorang pedagang Arab menjadi pemimpin sebuah pemukiman Arab di pesisir Sumatera. Sebagian mereka bahkan melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal yang kemudian membentuk komunitas muslim Arab dan lokal. Anggota komunitas itu juga melakukan kegiatan penyebaran Islam. Argumen Arnold di atas berdasarkan kitab `Ajaib al-Hind, yang mengisaratkan adanya eksistensi komunitas muslim di Kerajaan Sriwijaya pada Abad X. Crawfurd juga menyatakan bahwa Islam Indonesia dibawa langsung dari Arabia, meski interaksi penduduk Nusantara dengan muslim di timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. Sementara Keizjer memandang Islam dari Mesir berdasarkan kesamaan mazhab kedua wilayah pada saat itu, yakni Syafi’i. Sedangkan Nieman dan De Hollander memandang Islam datang dari Hadramaut, Yaman, bukan Mesir. Pembela gigih teori Arabia lain adalah Naquib Al-Attas. Ia menolak temuan epigrafis yang menyamakan batu nisan di Indonesia dengan Gujarat sebagai titik tolak penyebaran Islam di Indonesia. Batu-batu nisan itu diimpor dari Gujarat hanya semata-mata pertimbangan jarak yang lebih dekat dibanding dengan Arabia. Menurut Al-Attas, bukti paling penting yang perlu dikaji dalam membahas kedatangan Islam di Indonesia adalah karakteristik Islam di Nusantara yang ia sebut dengan “teori umum tentang Islamisasi Nusantara” yang didasarkan kepada literatur Nusantara dan pandangan dunia Melayu. (Azra,28). Menurut Al-Attas, sebelum abad XVII seluruh literatur Islam yang relevan tidak mencatat satupun penulis dari India. Pengarang-pengarang yang dianggap oleh Barat sebagai India ternyata berasal dari Arab atau Persia, bahkan apa yang disebut berasal dari Persia ternyata berasal dari Arab, baik dari aspek etnis maupun budaya. Nama-nama dan gelar pembawa Islam pertama ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka orang Arab atau Arab-Persia. Diakui, bahwa setengah mereka datang melalui India, tetapi setengahnya langsung datang dari Arab, Persia, Cina, Asia Kecil, dan Magrib (Maroko). Meski demikian, yang penting bahwa faham keagamaan mereka adalah faham yang berkembang di Timur Tengah kala itu, bukan India. Sebagai contoh adalah corak huruf, nama gelaran, hari-hari mingguan, cara pelafalan Al-Quran yang keseluruhannya menyatakan ciri tegas Arab. (Attas, 1990:53-54) Argumen ini didukung sejarawan Azyumardi Azra dengan mengemukakan historiografi lokal meski bercampur mitos dan legenda, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan lain-lain yang menjelaskan interaksi langsung antara Nusantara dengan Arabia. (Azra, 30). Penggagas Teori Arabia lain adalah Hamka. Dalam pidatonya dalam Dies Natalis Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) ke-8 di Yogyakarta pada tahun 1958 ia juga melakukan koreksi “keras” terhadap Teori Gujarat. Teorinya disebut “Teori Mekah” yang menegaskan bahwa Islam berasal langsung dari Arab, khususnya Mekah. Teori ini ditegaskannya kembali pada Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia di Medan, 17-20 Maret 1963. Hamka menolak pandangan yang menyatakan bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13 dan berasal dari Gujarat. Hamka lebih mendasarkan teorinya pada peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia. Menurutnya, Gujarat hanyalah merupakan tempat singgah, dan Mekah adalah pusat Islam, sedang Mesir sebagai tempat pengambilan ajaran. (Suryanegara, 81-82). Hamka menekankan pengamatannya kepada masalah mazhab Syafi’i yang istimewa di Mekah dan mempunyai pengaruh besar di Indonesia. Sayangnya, hal ini kurang mendapat perhatian dari para ahli Barat. Meski sama dengan Schrike yang mendasarkan pada laporan kunjungan Ibnu Bathuthah ke Sumatera, Hamka lebih tajam lagi terhadap masalah mazhab yang dimuat dalam laporan Ibnu Batutah. Selain itu Hamka, juga menolak anggapan Islam masuk ke Indonesia pada abad XIII. Islam sudah masuk ke Nusantara jauh sebelumnya, yakni sekitar Abad VII. (Ibid. 82) Pandangan Hamka sejalan dengan Arnold, Van Leur, dan Al-Attas yang menekankan pentingya peranan Arab, meski teori Gujarat tidak mutlak menolak peranan Arab dalam penyebaran Islam di Nusantara. Arnold sendiri telah mencatat bahwa bangsa Arab sejak abad kedua sebelum Masehi telah menguasai perdagangan di Ceylon (Srilangka). Memang tidak dijelaskan lebih lanjut tentang sampainya ke Indonesia. Tetapi, bila dihubungkan dengan kepustakaan Arab kuno yang menyebutkan Al-Hind (India) dan pulau-pulau sebelah timurnya, kemungkinan Indonesia termasuk wilayah dagang orang Arab kala itu. Berangkat dari keterangan Arnold, tidaklah mengherankan bila pada abad VII, telah terbentuk perkampungan Arab di sebelah barat Sumatera yang disebut pelancong Cina, seperti disebutkan Arnold dan Van Leur. Hamka juga menolak teori Persia yang mendasarkan diri pada persamaan budaya Indonesia dengan Persia. Tradisi Tabut, misalnya, menurut Hamka, bukan berarti menujukkan bahwa Islam Indonesia bercorak Syi’ah dari Persia, karena Muslim di Indonesia yang bukan Syi’ah umumnya juga menghormati Hasan-Husein, meski bukan berarti Hamka menafikan pengaruh Syi’ah atau Persia di Indonesia, terutama pada bidang tasawuf. (Suryanegara, ibid., h. 92). Dari uraian ketiga teori di atas dapat dilihat segi-segi persamaan dan perbedaan dari masing-masing teori. Teori Gujarat dan Persia memiliki persamaan pandangan mengenai masuknya Islam ke Nusantara yang berasal dari Gujarat. Perbedaanya terletak pada teori Gujarat dan mempersandingkan dengan ajaran mistik India. Teori Persia juga memandang adanya kesamaan mistik muslim Indonesia dengan ajaran mistik Persia. Gujarat dipandang sebagai daerah yang dipengaruhi Persia, dan menjadi tempat singgah ajaran Syi’ah ke Indonesia. Dalam hal memandang Gujarat sebagai tempat singgah (transit) bukan pusat, sependapat dengan Teori Arabia/Mekah. Tetapi teori Mekah memandang Gujarat sebagai tempat singgah perjalanan perdagagan laut antara Indonesia dan Timur Tengah, sedangkan ajaran Islam diambilnya dari Mekah atau dari Mesir. Teori Gujarat tidak melihat peranan bangsa Arab dalam perdagangan ataupun dalam penyebaran agama islam ke Indonesia. Teori ini lebih melihat peranan pedagang India yang beragama Islam dari pada bangsa Arab yang membawa ajaran Islam. Oleh karena itu berdasarkan skripsi tertua dan laporan Marcopolo, ditetapkan daerah Islam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai, dan waktunya pada abad ke-13. Dalam hal ini teori Persia mempunyai kesamaan pendapat bahwa agama Islam masuk ke Nusantara pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam pada abad 13 di Sumatera dengan pusatnya di Samudera Pasai. Kebalikannya adalah teori Arabia/Mekah yang tidak dapat menerima abad 13 sebagai awal masuknya islam ke Indonesia yang didasarkan pada berdirinya kerajaan Islam. Sedangkan masuknya Islam ke Nusantara terjadi pada abad ke-7. Dasar argumennya bertolak dari besarnya pengaruh mazhab Syafi’i di Indonesia. Sekalipun teori Persia juga membicarakan masalah pengaruh mazhab Syafi’i di Indoensia, tetapi hal itu juga dijadikan argumen besarnya pengaruh India atas Indonesia. Pandangan teori Persia dengan melihat mazhab Syafi’i di Indonesia sebagai pengaruh yang berkembang luas di Malabar. Dari Malabar inilah mazhab Syafi’i dibawa oleh pedagang India ke Indonesia. Mempertimbangkan diskusi di atas mungkin dapat diambil kesimpulan bahwa Islam sudah diperkenalkan dan ada di Indonesia sejak abad ke-7 Masehi atau abad pertama Hijriah, namun perkembangan yang lebih massif baru terlihat pada abad 12 dan 16. Adapun pembawa dan penyebar yang paling dominan adalah bangsa Arab, baru kemudian orang Persia dan India. Demikian pula asalnya, adalah Arabia yang kemudian dibumbui warna Persia dan India. Penyebaran itu pertama kali dilakukan di pesisir utara Sumatera (Aceh), karena posisi selat Malaka merupakan jalur perdagangan penting dunia, dan kemudian menyebar ke daerah yang lebih timur dan utara, seperti Jawa (1450), Kalimantan (1580), Maluku (1490), Sulawesi (1600), Sulu (1450) dan Filipina Selatan (1480).

B. Tokoh-tokoh Penyebar Islam di Indonesia Para pedagang Arab yang berasal dari semenanjung Arabia ke pesisir utara Sumatera (Aceh) pada Abad ke-7 Masehi itu selain berdagang mereka juga menjadi penyebar agama Islam dan melakukan perkawinan dengan wanita setempat. Sekalipun penduduk pribumi belum banyak yang memeluk agama Islam, tapi komunitas Muslim pertama telah terbentuk yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang dan penduduk lokal, seperti yang didapatkan para pengelana Cina di pesisir utara Sumatera (Aceh) dan komunitas Islam di wilayah Sriwijaya. Meskipun Islam telah masuk ke wilayah Indonesia sejak abad ke-7 Masehi, penyebaran Islam baru berjalan secara massif pada abad ke-12 dan 13 Masehi. Sedikit berbeda dengan perkenalan Islam pertama pada abad ke-7, menurut A. Johns, para penyebar Islam pada abad ke-12 adalah para dai dari kalangan sufi. Mereka inilah yang memainkan peranan penting (prime mover) dalam proses penyebaran Islam di kawasan Nusantara. Faktor utama yang menunjang keberhasilan Islamisasi ini adalah kemampuan para sufi menyajikan kemasan Islam yang atraktif, menekankan aspek-aspek keluwesan ajaran Islam khususnya tasawuf dengan mistisisme setempat. (Azra,32-33) Dalam catatan A. Hasymi, berdasarkan naskah Idhar al_haqq fi Mamlakat Ferlah wal Fasi, karangan Abu Ishak Al-Makarani Al-Fasi, Tazkirat Tabaqat Jumu Sultanul Salatin karya Syaikh Syamsul Bahri Abdullah Al-Asyi, dan Silsilah Raja-raja Perlak dan Pasai, menyatakan bahwa kerajaan Perlak, Aceh adalah kerajaan Islam pertama di Indonesia yang didirikan pada tanggal 1 Muharam 225 H (840 M) dengan raja pertamanya Sultan Alaudin Sayyid Maulana Abdil Aziz Syah. Tokoh penting yang menyebarkan Islam di Perlak adalah Nakhoda Khalifah. Pada tahun sekitar abad 9 Nakhoda Khalifah membawa anak buahnya dan mendarat di Perlak. Di samping sebagai kapal dagang kapal itu mengangkut para juru dakwah yang terdiri dari orang Arab, Persia, dan India. Dalam kurun waktu kurang dari setengah abad, raja dan rakyat Perlak secara sukarela menganti agama mereka dari Hindu-Buddha menjadi Islam. Salah satu anak buah Nakhoda Khalifah kemudian mengawini puteri raja perlak dan melahirkan anak yang bernama Sayid Abdul Aziz yang kemudian memproklamirkan Kerajaan Perlak. Ibu kotanya yang semula bernama Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah sebagi perhargaan terhadap Nakhoda Khalifah. (A. Hasymi, 1993:146-147). Sementara itu, menurut Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis 1350 H), seorang ulama bernama Syekh Ismail datang dengan kapal dari Mekah via Malabar ke Pasai. Ia berhasil mengislamkan Meurah Silu, penguasa setempat, yang kemudian berganti gelar dengan nama Malik Al-Shalih yang wafat pada tahun 1297 M. Seabad kemudian sekitar tahun 1414 M, menurut Sejarah Melayu (ditulis setelah 1500 M), penguasa Malaka juga telah diislamkan oleh Sayyid Abdul Aziz, seorang Arab dari Jeddah. Penguasa yang bernama semula Parameswara itu akhirnya berganti nama dan gelar Sultan Muhamamd Syah. Historiografi lainnya, Hikayat Merong Mahawangsa, (ditulis tahun 1630), seorang dai bernama Syekh Abdullah Al-Yamani dari Mekah telah mengislamkan Phra Ong Mahawangsa, penguasa Kedah, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Muzahffar Syah. Sedangkan, sebuah historiografi dari Aceh yang lain menyebutkan bahwa seorang dai bernama Syekh Jamalul Alam dikirim Sultan Usmani (Ottoman) di Tukri untuk mengislam penduduk Aceh. Riwayat lain menyatakan bahwa Islam diperkenalkan ke kawasan Aceh oleh Syekh Abdullah Arif sekitar tahun 1111 M. (Azra, 1998:29-30). Riwayat lain, Prof. DR. Wan Husein Azmi menyebutkan bahwa dalam dakwah Islam di Nusantara terdapat sekumpulan juru dakwah yang diketuai oleh Abdullah Al-Malik Al-Mubin. Para juru dakwah ini dibagi menurut daerah masing-masing. Syekh Sayid Muhammad Said untuk daerah Campa (Indo-Cina), Syekh Sayid Ahmad At-Tawawi dan Syekh Sayyid Abdul Wahab ke Kedah (Malaysia), Syekh Sayyid Muhammad Daud ke Pattani (Thailand), (Malaysia), Syekh Sayyid Muhamad untuk Ranah Minangkabau (Indonesia), dan Abdullah bin Abdul Malik Al-Mubin untuk daerah Aceh sendiri. Tokoh lain yang berperan dalam Islamisasi di pulau Sumatera adalah Said Mahmud Al-Hadramaut. Ia telah berhasil mengislamkan Raja Guru Marsakot dan rakyatnya yang berada wilayah Barus (Sumatera Utara). Sementra itu seorang pelancong Eropa Mabel Cook Cole pada tahun 1951 menyatakan bahwa seorang muslim bernama Sulaiman telah sampai di Pulau Nias pada tahun 851 M. Al-Mubin berada di Aceh sekitar tahun 1408-1465 M pada masa pemerintahan Sultan Alaudin Inayat Syah. Sedang di Deli, penyebar Islam di sana adalah Imam Shadiq bin Abdullah (w. 27 Juni 1590 M). Makamnya berada di daerah Klumpang, Deli, bekas Kerajaan Haru. Di Sumatera bagian barat dan tengah tokoh penyebar Islam utama adalah Syekh Burhanudin Ulakan, meskipun ada indikasi kuat Islam telah masuk pada abad-abad sebelumnya. Ia adalah orang Minangkabau asli penganut Tarekat Syatariyah. Sewaktu berdagang di Batang Bengkawas, Burhanudin yang masih bernama Pono beserta orang tuanya bertemu dengan saudagar Gujarat yang bernama Illapai. Pono dan orangtuanya meninggalkan agama Budha dan masuk Islam. Karena ditentang sukunya, ia pindah ke Sintuk (Pariaman) pada tahun 1659. Ia pergi ke Aceh berguru kepada Syaikh Abdurrauf Singkil. Selanjutnya ia mendirikan pusat penyebaran Islam di Ulakan yang kemudian dianggap sebagi pusat penyebaran Islam di Sumatera bagian tengah. (Mastuki dkk., 2003: Di Siak (Riau), Sayyid Usman Syahabudin adalah ulama yang alim dan berakhlak yang telah menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Siak. Karena akhlaknya yang mulia, ia dikawinkan dengan putri raja yang bernama Tengku Embung Badariah. Dari perkawian merekalah yang kemudian menurunkan raja-raja Siak. Pendakwah lain adalah Habib Umar bin Husein As-Saggaf yang diberi gelar Tuan Besar Siak. (Syamsu,1999:18). Seperti disinggung Azra, sejak abad ke-7 sudah terbentuk komunitas Muslim di wilayah Kerajaan Sriwijaya berkat jasa para pedagang Arab sejak masa khilafah Bani Umayyah (661-750 M). Tokoh-tokoh penyiar Islam sesudahnya yang paling penting adalah Adipati Arya Damar, seorang Adipati Majapahit yang memeluk Islam atas ajakan Raden Rahmat --yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Ampel-- yang mampir di Palembang dari Campa. Ini berarti pengislaman Palembang telah lebih dahulu daripada Minangkabau atau pedalaman Jawa. Pada masa Sultan Muhammad Mansur, terdapat ulama besar yang bernama Sayyid Jamaluddin Agung yang dikenal dengan julukan Tuan Fakih Jalaludin yang menyebarkan Islam ke wilyah Ogan Komerign Ulu dan Ilir bersama ulama lainnya yang bernama Sayyid Al-Idrus. Di samping itu ada ulama lain pada zaman kesultanan Palembang seperti Syekh Abdushamad Al-Falembani. Mengenai Islamisasi Jawa, sebenarnya hubungan antara pesisir utara Jawa Timur, Jawa Barat, dan Malaka sudah terjalin sebelum kerajaan Demak muncul. Sampai dengan tahun 1526 hubungan kerajaan Sunda dan Portugis masih terjalin sesuai dengan perjanjian tahun 1522. Dalam perjanjian itu Portugis diizinkan terlibat dalam perdagangan dan mendirikan loji di Sunda Kelapa. Hal ini diperkuat oleh Carita Purwaka Caruban Nagari (ditulis Pangeran Arya Cerbon tahun 1720). Artinya, kedatangan Islam di pesisir utara Jawa Barat semasa dengan kedatangan Islam di pesisir Jawa Timur. (Uka Tjandrsasmita, 2002, h. 15) Sementara itu tokoh sentral penyebaran Islam di Pulau Jawa, para penulis sejarah sepakat menunjuk para ulama yang kemudian dikenal dengan julukan Wali Sanga (Sembilan Wali). Menurut kebanyakan penulis, yang dimaksud dengan Wali Sanga adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Suana Kudus, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria. Maulana Malik Ibrahim adalah salah satu penyebar Islam pertama di Jawa. Ia dicatat sebagai orang yang mengislamkan pesisir utara Jawa dan bahkan beberapa kali membujuk Raja Wikramawardhana (berkuasa 1386-1429), penguasa Majapahit, untuk masuk Islam. (Azra, 30). Nama lainnya adalah Maulana Magribi. Ia adalah seorang ulama yang berasal dari Arab, keturunan Imam Ali Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad SAW. (Syamsu,30). Penyebaran Islam di wilayah Majapahit semakin memiliki momentum setelah kedatangan Raden Rahmat, putra seorang Arab dari Campa. Ia digambarkan memiliki peran yang menentukan dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa dan dipandang sebagai pemimpin Wali Sanga dengan gelar Sunan Ampel. Di Ampel (Surabaya) dia mendirikan pusat pendidikan Islam (pesantren). (Azra, 30). Ayahnya bernama Ibrahim Asmoro, tokoh penyebar Islam di Campa (Indo-Cina) yang menikah dengan putri Raja Campa. Makamnya berada di Tuban yang dikenal dengan Sunan Nggesik. Sementara itu putri Raja Campa lainnya, Dwarawati menikah dengan Angkawijaya alias Wikramawardana. Pertama kali ia datang di Gresik disambut seorang ulama Arab yang bernama Syekh Jumadil Kubro. Meski ia gagal membujuk Wikramwardhana masuk Islam, tapi ia diberikan kebebasan untuk menyiarkan Islam dan diberikan kekuasaan di Ampel Denta. Sehingga ia dikenal dengan Sunan Ampel. Wafat dan dimakamkan di Ampel, Surabaya (Syamsu, 42) Selanjutnya Sunan Giri alias Raden Paku alias Jaka Samudra, putra Maulana Ishak. Maulana Ishak sendiri adalah seorang Arab yang diutus Raja Pasai untuk mengislamkan Blambangan, Jawa Timur. Alkisah, Maulana Ishak berhasil mempersunting Putri Sekardadu, putri Raja Menak Sembayu. Namun khawatir akan perkembangan Islam yang pesat di Blambangan, Raja Blambangan memerintahkan untuk membunuh Maulana Ishak, tapi ia berhasil menyelamatkan diri. Jasa besar Sunan Giri dalam menyiarkan Islam adalah mengirimkan murid-muridnya untuk menyiarkan Islam ke pelosok Nusantara seperti, Madura, Bawean, Kangean, bahkan sampai Ternate. Belaiu wafat dan dimakamkan di Giri, Gresik. (Syamsu, 47-50). Sunan Kudus alias Jafar Shadiq adalah penyebar Islam di Kudus, Jawa Tengah. Menurut penelitian Syamsu, ia adalah putra Sunan Ampel. Ia wafat dan dimakamkan di Kudus. Putra Sunan Ampel yang lain adalah Sunan Bonang yang bernama asli Makhdum Ibrahim. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila, putri Adipati Tuban. Saudara-saudaranya adalah Nyi Ageng Maloka, Syarifuddin Hasyim (Sunan Drajat), dan seorang putri lagi, istri Sunan Kalijaga. Sunan Bonang wafat tahun 1001 H dan dimakamkan di Tuban. Sedangkan Sunan Gunung Jati adalah putra seorang anak sultan dari Mesir yang menikah dengan Nyai Larasantang, putri Raja Siliwangi. Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah. Ia berhasil mengislamkan penduduk Jawa Barat. Ia berhasil pula menaklukan Sunda Kelapa dan mengusir Portugis dari sana serta menggantinya dengan nama Jayakarta (Jakarta). Ia berhasil mendirikan kesultanan Banten antara tahun 1521-1524. Tahun 1526 M ia rebut Cirebon dan Sumedang. Tahun 1530 seluruh Galuh telah memeluk Islam. Hanya tersisa Pakuan ibukota Pajajaran yang menjadi benteng terakhir kerajaan Hindu. Keturunannya menjadi sultan di Banten dan Cirebon. (Syamsu, 60-63). Sunan Kalijaga adalah seorang tokoh Wali Sanga yang sangat lekat dengan Muslim di Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak. Mengenai asal usulnya ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa ia juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli. Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah. Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan bahwa Aria Teja alias Abdurrahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I (Abdurrahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, paman Rasulullah. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak salah satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria. Sunan Muria atau Raden Prawoto adalah seorang sufi yang memiliki pesantren di kaki gunung Muria, Jepara Jawa Tengah. Masih dalam koteks penyiaran Islam di Jawa, Pulau Madura adalah bagian yang ikut terislamisasikan pada abad ke-15 M. Ulama yang berhasil mengislam Sumenep adalah Sunan Padusan alias Raden Bandoro Diwiryipodho alias Usman Haji. Ia berhasil mengislamkan penguasa Sumenep Pangeran Secodoningrat III pada tahun 1415 Masehi. Sunan Padusan adalah penyiar Islam keturunan Arab yang tinggal di Padusan, kemudian pindah ke Batuputih. Sedang penyiar Islam di Sampang adalah Buyut Syekh, seorang sayyid keturunan Sayyidina Husein, cucu Nabi Muhammad. Di samping itu ada juga Empu Bageno, murid Sunan Kudus. Ia berhasil mengislamkan Raja Arosbaya yang kemudian bergelar Pangeran Islam Onggug. Sementara itu penyebaran Islam di wilayah Timur Indonesia sudah dikenal sejak sebelum abad ke-14. Hal itu sesuai dengan dengan masa kedatangan para pedagang muslim melalui jalur pelayaran dan perdagangan internasional dari Timur Tengah, India, Samudera Pasai, Malaka, pesisir utara Jawa, terutama Jawa Timur, sampai ke daerah Maluku. Sejak masa raja ke-12 (berkuasa 1350-1357) Islam telah datang ke Ternate. Raja itu bernama Malomateya yang bersahabat dengan seorang Arab yang memberi petunjuk cara membuat kapal. Namun raja tersebut belum lagi memeluk Islam. Baru pada masa Raja Gapi Buta (1465-1486) di Ternate, datang seorang Maulana dari Jawa yang bernama Maulana Husein. Raja Gapi Buta pun beserta rakyatnya masuk Islam. Ia menganti namanya dengan Sultan Zainal Abidin dan setelah wafat dikenal dengan Raja Marhum. Menurut catatan Tome Pires, raja Maluku memeluk Islam kira-kira tahun 1465 M. Di Tidore ada pula seorang pendakwah dari Arab yang bernama Syekh Mansur yang telah berhasil mengajak Raja Tidore Kolano Ciriliyati untuk memeluk Islam. Kemudian ia berganti nama dan gelar menjadi Sultan Jamaluddin. Adapun penyiar Islam di daerah Seram adalah Maulana Zainal Abidin dan muridnya, Kapiten Iho Lussy. Penduduk pulau Seram memeluk Islam berkat jasa keduanya, Sementara masuknya Islam di Maluku Tengah sendiri adalah berkat jasa para pedagang dan penyiar Islam dari Jawa Timur. (Uka Tjansasmita, 2002: 15; Saymsu,:109-111). Menurut sejarah Goa, pada masa Raja Tunipalangga, datanglah seorang nakhoda Bonang yang memimpin pedagang Melayu dari Pahang, Patani, Johor, dan Minangkabau. Pada masa Raja Tunnijallo (1565-1590) didirikan perkampungan Islam atas izin raja. Adapun raja di Sulawesi yang pertama memeluk Islam adalah Raja Tallo atau Mangkubumi Goa yang bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri yang kemudian bergelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Setelah itu disusul raja Goa yang bernama I Managarangi Daeng Manrabia yang kemudian bergelar Sultan Alaudin. Ulama yang berjasa dalam pengislaman Goa-Tallo adalah tiga ulama dari Minangkabau yaitu Katib Tunggal atau Datuk Ri Bandang, Katib Sulung atau Datuk Ri Patimang dan Katib Bungsu atau Datuk Ri Tiro pada tahun 1603. Pada tahun yang sama ketiganya juga berhasil mengislam Luwu dan Wajo. Raja Luwu La Patiware Daeng Oarabu memeluk Islam dan bergelar Sultan Muhammad Waliyullah Mudharuddin. Sementara itu Islam masuk ke Sulawesi Tengah dibawa oleh oleh orang-orang Bugis. Ulama yang berjasa menyebarkan islam di Sulawesi Tengah adalah Sayid Zein Al-Aydrus serta Syarif Ali yang kawin dengan putri bangsawan Buol. Salah seorang syarif yang bernama Ali Syarif Mansur bersama 40 pengikutnya berangkat ke Menado untuk menyiarkan Islam di sana. Di Palu, pengislaman dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Habib Idrus bin Salim Al-Jufri, pendiri madrasah/pesantren Al-Khaerat. Di Boolang Mangondow, Sulawesi Utara, Raja Jacob Manopo (1689-1709) masuk Islam melalui seorang Sayid Husein bin Ahmad bin Jindan dari Sulawesi Selatan. Orang-orang Arab juga punya peran besar dalam menyiarkan Islam di wilayah Kerajaan Buton. Sebelum masuk Islam pada sekitar abad XI, Raja Buton beragama Hindu-Budha. Tapi, setelah Raja Halu Oleo memeluk Islam, Buton resmi menjadi Kesultanan Islam. Raja Halu Oleo berganti nama dan gelar Sultan Qaimuddin. Para ulama yang berjasa dalam proses islamisasi ini adalah Syekh Abdul Wahid, Syarif Muhammad, Firuz Muhammad dan Sayid Alwi. Syarif Muhammad dikenal dengan Saidi Raba dan kemudian menjadi menantu Lang Kiri atau Sultan Buton ke-19 yang bergelar Sultan Ahiyuddin Darul Alam yang berkuasa antara tahun 1712-1750 M. Sejak tahun 1550-an Kalimantan bagian selatan juga mulai diislamkan. Menjelang kedatangan Islam di kalangan kerajaan terjadi perebutan kekusaan antara Pangeran Tumenggung dan Raden Samudera. Raden Samudera meminta bantuan Demak. Demak mengirimkan bantuan dan menyertakan seorang penghulu. Setelah Raden Tumenggung dapat ditundukkan, Raden Samudera memeluk Islam dan berganti nama menjadi Sultan Suryanullah. Sedang di Tanjung Pura (Kalbar), Islam diperkenalkan oleh Syekh Husein dan berasil mengislam Raja Giri Kusuma. Ia kemudian dikawinkan dengan putri Giri Kusuma dan menurunkan raja-raja Tanjung Pura. Ulama lain yang berjasa menyebarkan Islam di Kalimantan Barat adalah Syarif Idrus yang menurunkan raja-raja Kubu, Syarif Husein Al-Gadri yang menurunkan raja-raja Pontianak. Syarif Husein meninggal dan dimakamkan di Mempawah. Menurut Hikayat Kutai, dua muballig yang berperan dalam menyebarkan Islam di Kalimantan Timur adalah Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan yang sebelumnya telah menyebarkan Islam di Sulawesi Selatan. Setelah Raja Mahkota masuk Islam Datuk Ri Bandang kembali ke Sulawesi Selatan, sedangkan Tuan Tunggang Parangan menetap di Kutai. Peristiwa masuk Islam Raja Kutai dan penyebaran Islam di sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575. (Abdullah (ed.), 1999:: 17) Sementara itu, Islam masuk Nusa Tenggara diperkirakan pada abad ke-16. Sunan Prapen, putra Sunan Giri, adalah tokoh penyebar Islam di Lombok. Dinasti Selaparang adalah yang pertama kali memeluk Islam. Sunan Prapen dalam dakwahnya membawa sejumlah pengiring dan ulama. Diantara mereka ada yang pandai memainkan wayang, yang kemudian menjadi media Islamisasi di Lombok. Disamping itu ada dua ulama lain pada abad ke-17 dalam peran dakwah itu, yaitu Habib Husin bin Umar dan Habib Abdullah Abas, keduanya Arab Hadramaut. Sedangkan di Sumba Syarif Abdurrahman Al-Gadri dibuang pada tahun 1836 ke Sumba lalu menyebarkan Islam di sana. Syekh Abdurrahman dari Benggali menyebarkan Islam di Sumbawa dan Timor. Tokoh lain adalah Pangeran Suryo Mataram, pejuang perang Diponegoro. Setelah ia di buang ke Kupang oleh Belanda, ia aktif menyebarkan Islam di sana. Dan masih ada ulama lain yang ikut berperan dalam penyebaran Islam di Nusa Tenggara.

C. Cara dan Media Penyebaran Islam di Indonesia Para pedagang dari berbagai negeri yang jauh dari Asia Tenggara, misalnya, Arab, Persia, Irak, Gujarat, Benggala, dan lainnya, karena faktor musim yang menentukan waktu pelayaran, terpaksa tinggal di bandar-bandar yang mereka datangi. Mereka diberi tempat oleh penguasa lokal sehingga membentuk komunitasnya yang sering disebut perkampungan Pakojan, yaitu kampung yang khusus untuk pedagang Muslim. Di kota-kota lama, Pakojan masih dapat disaksikan seperti pada kota Banten, Semarang, Jakarta dan beberapa kota lainnya. (Abdullah (ed.), 1999:. 18) Di samping melakukan perdagangan para pedagang Muslim yang datang di beberapa tempat di Asia Tenggara juga menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk setempat. Lebih-lebih jika diantara mereka ada yang melakukan perkawinan dengan penduduk lokal setelah terlebih dahulu diislamkan. Hal ini dilatarbelakangi keyakinan bahwa setiap Muslim wajib melakukan dakwah dalam arti yang luas seperti diperintahkan Al-Quran. (QS. An-Nahl (16): 125). Dari komunitas Muslim tersebut, proses penyebaran Islam dapat terjadi karena perkawinan dengan anggota masyarakat biasa atau bangsawan. Beberapa faktor yang mendorong terjadinya proses perkawinan antara pendatang muslim dan wanita setempat, antara lain karena Islam tidak membedakan status masyarakat. Dari pandangan rakyat pribumi lebih-lebih bagi mereka yang beragama Hindu yang mengenal pembedaan status dalam bentuk kasta, hal ini lebih mendorong mereka memeluk Islam. (ibid.h. 19) Selain itu ada pula alasan politik. Beberapa penguasa atau raja kecil di daerah pesisir memisahkan diri dari kekuasaan pusat kerajaan untuk memeluk agama Islam karena terjadi perebutan kekuasaan di pusat kerajaan. Dari segi politik dan ekonomi, raja bawahan itu berhasil menjadi penguasa Islam, mereka mendapat kemudahan untuk melakukan ekspor dan impor komoditas yang diperlukan oleh para pedagang muslim untuk keperluan pasar dunia. Contoh situasi dan kondisi semacam itu ialah proses Islamisasi di pesisir utara Jawa, terutama Jawa Timur semasa Kerajaan Majapahit. Dengan munculnya kerajaan Demak serta kerajaan lainnya yang semula di bawah kekuasaan Majapahit. Faktor lain yang menyebabkan perkawinan para pedagang Muslim dengan wanita setempat adalah juga karena faktor kebutuhan bilogis. Biasanya para pedagang tidak membawa serta istri dalam muhibahnya. Para pribumi biasanya membiarkan perkawinan anak-anak mereka dengan pendatang muslim karena mereka berpandangan bahwa para pendatang muslim tersebut mempunyai status ekonomi lebih kuat. (Abdullah (ed.), 1999: 36-37) Perkawinan antar pendatang muslim dan wanita bukan muslim dalam sejarah penyebaran Islam di Asia Tenggara memiliki bukti kuat. Tom Pires memberitakan terjadinya perkawinan antara wanita bukan muslim dengan laki-laki muslim di Malaka. Demikian pula antara putri Kerajaan Pasai yang sudah Islam dengan Raja Parameswara, Raja Malaka, sehingga Malaka menjadi Kerajaan Islam. Dalam Babad Tanah Jawi juga diceritakan perkawinan Putri Campa dengan Raja Majapahit, Maulana Ishak menikahi putri Sekardadu, anak Raja Blambangan, yang kemudian melahirkan Sunan Giri. Raden Rahmat atau Sunan Ampel dengan Nyai Gede Manila, putri Temenggung Wilwatikta atau Majapahit. Syekh Ngabdurrahman (pedatang Arab) yang mengawini putri adipati Tuban, Raden Ayu Tejo. Dari perkawinan tersebut melahirkan anak yang bernama Syekh Jali. Dalam Babad Cirebon juga diceritakan perkawinan Sunan Gunung Jati dengan putri Bupati Kawung Anten, bawahan kerajaan Pajajaran. Dana masih banyak contoh lagi perkawinan yang sama di Sulawesi atau Kalimantan. Demikianlah proses penyebaran agama Islam berlangsung melalui perkawinan antara pendatang muslim, khususnya para pedagang dan para sufi, dengan wanita setempat atau sebaliknya penguasa non-muslim dengan wanita muslim. Perkawinan semacam itu pada gilirannya membentuk inti masyarakat muslim, yang menjadi titik tolak perkembangan Islam yang semakin lama semakin meluas di kalangan masyarakat setempat. Pada penjelasan di atas telah dikatakan bahwa disamping para pedagang, para sufi juga diikut sertakan dalam pelayaran dengan tujuan khusus dakwah. Terutama sejak abad ke-13 setelah Khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran setelah serangan Hulagu Khan dari Mongol (sekitar 1258 M), semakin banyak sufi datang dengan menumpang kapal dagang dari Timur Tengah. Para guru sufi tersebut dalam berbagai sumber setempat sering dijuluki maulana, sunan atau susuhunan, khatib, datau atau dato, wali, atau syekh. Dari sumber sejarah dapat diketahui adanya kecenderungan kuat bahwa jika raja masuk Islam, maka penyebaran Islam menjadi semakin cepat antara lain karena perintah raja yang telah masuk Islam itu. Di Kerajaan Samudera Pasai, setelah Merah Silu masuk Islam dan bergelar Malik Al-Salih, maka keluarga dan masyarakat setempat mengikutinya. Demikian hal serupa terjadi di Ternate, Sulawesi Selatan, dan Kalimatan Timur. Di samping faktor–faktor di atas yang menyebabkan cepatnya Islam diterima masyarakat Nusantara, adalah faktor akomodasi kultural yang diterapkan para pendakwah dalam menyebarkan Islam. Karena itulah penyebaran Islam di Nusantara tidak menimbulkan kejutan budaya (cultural shock). Karenanya masih didapati tradisi pra-Islam yang masih dipraktekkan masyarakat Nusantara yang telah memeluk Islam. Bahkan budaya-budaya tertentu telah dijadikan media dakwah yang efektif dalam penyebaran Islam. Di Jawa, para wali menggunakan gamelan dan tembang-tembang sebagai alat dakwah Islam. Sunan Bonang menggunakan bonang (alat musik) dan menciptakan tembang darma yang liriknya berisi petuah-petuah sufistik. Demikian pula Sunan Kudus yang menciptakan gending Maskumambang dan Mijil, Sunan Drajat dengan Pangkur-nya, dan Sunan Muria dengan Sinom dan Kinanti-nya. Diantara para wali yang paling kreatif menggunakan tradisi lokal dalam dakwahnya adalah Sunan Kalijaga. Ia mengadakan pertunjukan wayang yang penontonnya tidak dipungut biaya tapi cukup diminta mengucapkan dua kalimat syahadat. Pertunjukan wayang ini mengundang minat masyarakat. Selanjutnya, dalam pertunjukan ini, para wali menyampaikan petuah-petuah keislaman terutama yang yang bersifat sufistik. (Al Qurthubi, 2003: 112-113; Syamsu, 1999:54-75).

D. Paham Keagamaan Yang Dikembangkan Berdasarkan diskusi tentang masuknya Islam di Nusantara pada bagian awal, kebanyakan pakar berpendapat bahwa faham keagamaan yang dianut oleh para penyebar Islam pertama adalah faham Sunni yang menonjolkan aspek-aspek sufistik. Meski demikian memang tidak bisa dibantah adanya varian faham Syi’ah dalam faham kegamaan Nusantara karena interaksi-interaksi kemudian. Kesimpulan ini diperkuat oleh kenyataan bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia bermazhab Syafi’i, salah satu mazhab dari mazhab empat dalam faham keagamaan Sunni. Mazhab Syi’ah sendiri masuk di Indonesia dibawa oleh penganut Syi'ah Ismailiyah yang bersumber dari Persia yang kemudian tersebar ke pedalaman India sampai perbatasan Bukhara dan Afghanistan, dan akhirnya sampai ke Indonesia. Pengaruh faham Syi’ah di Indonesia dapat dilihat adanya mitos tentang akan datangnya Imam Mahdi dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Di Pariaman Sumatera Barat dikenal istilah Tabut yang dibuat dari tandu pada setiap 10 Asyura dan mengusungya beramai-ramai sambil menyebut dengan keras-keras ”Oyak Osen” (Hasan-Husen, yaitu dua nama cucu Nabi Muhammad dari garis keturunan Ali dan Fatimah. (Hasymi, 1993: 489). Dominasi pengaruh faham Sunni dapat dilihat dari pengaruh ajaran Sunan Bonang. Ajaran Sunan Bonang ini menggambarkan ajaran Walisongo secara umum karena beberapa alasan. Pertama, Sunan Bonang adalah putera sekaligus murid Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Kedua, Sunan Bonang adalah seorang mufti yang diberi gelar ”Prabu Hanyakrawati” dan dijuluki ”Selubung ngelmu lan agami” (Selubung ilmu dan agama). Ketiga, Sunan Bonang adalah seperguruan dengan Sunan Giri, Suana Gunung Jati, yang sama-sama berguru kepada Maulana Ishaq saat menetap di Pasai, Aceh. Keempat, Sunan Bonang adalah guru Sunan Kalijaga ketika pertama kali menuntut ilmu agama Islam. (Syamsu, 1999: 36) Dalam Primbon Wejangan Sunan Bonang, Sunan Bonang menyebut kitab-kitab atau tokoh pengarangnya, antara lain Ihya Ulumiddin karya Imam Ghazali, Talkhisul Minhaj ringkasan karya Imam al-Nawawi, Qutul Qulub karya Abu Talib Al-Makky, Abu Yazid Al-Bustami, Ibn Arabi, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, dan lain sebagainya. Dalam Primbon Sunan Bonang juga terdapat ilmu fikih, tauhid, dan tasawuf yang disusun berdasarkan faham Sunni atau Ahlussunnah wal Jamaah dengan mazhab Syafi'i. (Syamsu, 1999: 36-37). Sunan Bonang mengajarkan faham ketuhanan Sunni yang mengecam faham wahdatul wujud, faham manunggaling kawula gusti, dan faham lain sejenis. Faham tersebut oleh sementara ulama dianggap sesat dan kafir. Tiang agama yang harus dijaga menurut Sunan Bonang adalah tauhid dan ikhtiar. Primbon tersebut ditutup dengan nasehat: ”Hendaklah perjalanan lahir batinmu menurut jalan-jalan syariat, cinta, dan meneladani Rasulullah.” (Syamsu) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faham keagamaan yang disebarkan oleh Wali Sanga adalah Sunni atau Ahlusunnah wal Jamaah. Karena itu pula, Syekh Siti Jenar yang dianggap menyeleweng dari ajaran Sunni yang ortodok, dihukum oleh para wali. Syekh Siti Jenar sendiri banyak dipengaruhi oleh faham wahdatul wujud Al-Hallaj, seorang sufi Persia yang hidup pada tahaun 857-922 M. (Tebba, 2003:86). Penyebaran Islam sebagaimana telah dikemukakan di atas berkaitan dengan para sufi. Unsur tasawuf dapat dilihat, misalnya, dari tulisan pada beberapa nisan kuburan. Konsep Insan Kamil misalnya, dapat dilihat pada kubur raja Melayu dan Indonesia yang disebut Batu Aceh. Ayat-ayat Al-Quran dan beberapa syair sufi yang terdapat pada beberap nisan itu pada dasarnya mempunyai tema umum, yaitu menekankan: ”Hanya Allah yang ada dan Ia menentukan keinginan manusia.”Pada nisan Raja Malik Al-Salih terdapat puisi yang menyatakan: ”Dengarlah, sesungguhnya dunia itu fana, dunia tidak abadi. Sesunggunya dunia itu bagaikan suatu jaring yang dianyam oleh laba-laba.” (Abdullah (ed.), 2002: 23) Bukti di atas menggambarkan bahwa sejak abad ke-13 sampai ke-15 unsur sufi telah masuk di Pasai dan Malaka. Bahkan Sultan Alaudin Riayat Syah (w. 1488 M) disebut-sebut sebagai pengikut sufi. Dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai, terdapat gambaran bahwa raja-raja mempunyai perhatian terhadap ajaran Insan Kamil dan mempelajari kitab seperti Durrul Manzhum atau Darrul Mazlum yang ditulis Maulana Abu Ishak dan dibawa muridnya, Maulana Abu Bakar ke Malaka. (Abdullah (ed.), 2002:23). Meski tasawuf telah mempunyai pengaruh antara abad 13 sampai dengan abad ke-15, namun baru pada abad ke-16 dan ke-17 ajaran Tasawuf berkembang secara jelas di Asia Tenggara. Hal itu dapat diketahui dari hasil karya tasawuf pada abad tersebut. Di Jawa, ditemukan primbon abad ke-16 dan kitab Wejangan Syekh Bari dari abad ke-16. Syekh Yusuf Al-Makassari sekembalinya dari Timur Tengah banyak menulis kitab tasawuf, seperti Zubdatul Asrar, Tajul Asrar, Mathalibus Salikin, dan lain sebagainya. Di Aceh pada sekitar abad ke-17 muncul tokoh sufi seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Nuruddin Al-Raniri, dan Abdur Rauf Sinkel. Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsuddin Al-Sumatrani adalah penganut faham wahdatul wujud Ibn Arabi. Sebaliknya Nurudin Al-Raniri dan Abdur Rauf Singkel adalah penantang Wahdatul Wujud. (Abdullah (ed.), 2002: 23; Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): h.160). Martin Van Brunessen, seorang peneliti asal Jerman, menyatakan bahwa Islam yang diajarkan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) sangat diwaranai ajaran dan amalan sufi. Para sejarawan mencatat bahwa sufistik menjadikan daya tarik sendiri bagi orang-orang di Asia Tenggara sehingga menjadi salah satu faktor proses penyebaran Islam berlangsung cepat. Ajaran-ajaran kosmologis dan metafisis Ibnu Arabi dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan pribumi yang dianut masyarakat setempat. Konsep Insan Kamil sangat potensial sebagai basis legitimasi religius para raja. Di Kesultanan Buton, ajaran sufi tentang emanasi ketuhanan melalui tujuh martabat (Martabat Tujuh) dimaknai atas adanya masyarakat yang berjenjang (stratified) yang terdiri dari tujuh lapis sosial yang hampir menyerupai kasta. (Brunessen, 1999:188-189) Corak tasawuf ini masih terus berkembang di Indonesia sampai saat ini, di mana sikap-sikap sufistik dan kegemaran kepada hal-hal yang keramat masih meliputi orang Islam di Indonesia. Corak ini semakin kental ketika organisasi-organisasi sufi yang biasa disebut tarekat telah memperoleh pengikut yang tersebar di Indonesia. Orang-orang yang baru kembali dari Mekah dan Madinah menyebarkan tarekat Syattariyyah, seringkali perpaduan antara Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah. Tarekat Rifaiyyah dan Qadiriyah juga sudah tersebar. Sisa-sisa ajarannya dapat ditemukan di Aceh, Minangkabau, Banten, dan Maluku, dengan ciri kekebalan tubuh atau debus. (Brunessen, 1999, 197). Syekh Yusuf Makasar dikenal sebagai penganut Tarekat Khalwatiyah. Abdurrauf Sinkel dikenal sebagai penganut Tarekat Syatariyah, dan sebagainya.

E. Peran Pesantren dalam Penyebaran dan Pengembangan Islam Hasil penyebaran Islam tahap awal selanjutnya dimantapkan dengan proses pemahaman dan pengamalan ajaran Islam antara lain melalui jalur pendidikan yang kemudian dikenal dengan nama pesantren. Istilah pesantren sendiri berasal dari kata India shastri, yang berarti orang yang mengetahui kitab suci (Hindu). Dalam hubungan ini kata Jawa pesantren yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran – an, memberi makna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuah pondok untuk para siswa sebagai model sekolah agama di Jawa. Sejak zaman pra-Islam, di Jawa sudah berkembang desa-desa perdikan dengan tokoh agama yang kharismatis dan keramat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam terbentuk dengan pesantren-pesantren yang ada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yang hampir sama juga sudah ada di daerah lain bahkan mungkin lebih dahulu dari istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh, daerah pertama yang mengenal Islam, pesantren disebut dengan dayah atau rangkang, meunasah. Di Pasundan ada pondok, dan di Minangkabau ada surau. Dalam pesantren para santri melakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkan bermacam-macam pendidikan rohani, mental, dan sedikit banyak pendidikan jasmani. (Muchtarom, 1988: 6-7). Secara historis, pesantren sebagai lembaga pendidikan tempat pengajaran tekstual baru muncul pada akhir abad ke-18, namun sudah terdapat cerita tentang pendirian pesantren pada masa awal Islam, terutama di Jawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim (w. 1419M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren bagi pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh Wali Sanga. Dari situlah kemudian Raden Rahmat atau Sunan Ampel mendirikan pesantren pertama kali di Kembang Kuning, Surabaya pada tahun 1619 M. Selanjutnya ia mendirikan Pesantren Ampel Denta. Pesantren ini semankin lama semakin terkenal dan berpengaruh luas di Jawa Timur. Pada tahap selanjutnya bermunculan pesantren baru seperti Pesantren Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Paciran, Lamongan, Raden Fatah di Demak. (Mastuki dan Ishom El-Saha (ed.): 8). Bahkan, tercatat kemudian, murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Madura, Kangean, hingga Maluku. Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembaga semacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelum abad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca dan menghafal Al-Quran dari orang-orang kampung yang terlebih dahulu mengusainya. Kalau ada seorang haji atau pedagang Arab yang singgah di desa, dia diminta singgah beberapa hari di sana dan mengajarkan kitab agama Islam. Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Murid yang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkan tinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut pergi mondok ke Jawa, atau bila memungkinkan pergi ke Mekah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera pada abad-abad pertama penyebaran Islam. (Brunessen, 1999: 25) Di Sulawesi Selatan, masjid difungsikan sebagai pesantren sekaligus. Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Talllo) juga berfungsi sebagi pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan adalah syariat Islam, rukun Islam, rukun iman, hukum perkawinan, warisan, dan upacara hari besar Islam. Sejak pengembangan Islam di Sulawesi Selatan, orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnya mempunyai peranan penting dalam penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar. Berbagai lontar yang ditemukan dari bahasa Melayu zaman permulaan Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai dengan abad ke-18. (Abdullah (ed.), 2002: 22). Sedang sejarah pesantren di Jawa, Serat Centini pernah menceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama Karang di Banten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandegelang, Banten. Salah satu tokohnya adalah Danadarma yang mengaku telah belajar 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yang wafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya adalah Jayengresmi alias Among Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbingan seorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenal dengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi berguru lagi kepada Ki Baji Panutra di desa Wanamarta. Di sini ia menunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam tentang kitab-kitab ortodoks. (Abdullah (ed.), 2002: 22) Demikianlah, pesantren menjadi pusat penyebaran agama Islam yang efektif di Indonesia. Kesuksesan ini ditunjang oleh posisi penting para kiai, ajengan, tengku, tuan guru, atau tokoh agama lainnya di tengah masyarakat. Mereka bukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja, kiai juga dianggap tokoh kharismatik bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Kharisma kiai ini didasarkan kepada kekuatan spritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannya dengan alam gaib. Ziarah ke kuburan para kiai dan wali dipandang sebagi bagian integral dari wasilah, keperantaraan spiritual. Mata rantai yang terus bersambung melalui guru-guru terdahulu dan wali sampai dengan nabi, dianggap penting untuk keselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat. (Brunessen, 1999:20). [].



Share this

Related Posts

Previous
Next Post »