Setiap tahun semua siswa, guru dan kepala sekolah selalu melewati ritual
suci yang sudah sering dianggap sebagai takdir dari langit. Ritual itu
bukan ibadah haji atau shalat Idul Fithri, melainkan ritual ujian
nasional, yang terlanjur dianggap sebagai bukti kesuksesan pemerintah
dalam masalah pendidikan. Ritual itu juga melibatkan para penguasa
daerah, termasuk lurah, camat, bupati dan seterusnya. Pak Polisi pun
ikut juga ikut sibuk kesana kemari mengamankan dan mengawal. Biasanya,
beberapa bulan sebelum ujian nasional diselenggarakan, para siswa sudah
agak jarang pulang, lantaran pihak sekolah mengadakan jam tambahan. Para
guru sibuk memberi les di luar jam-jam resmi sekolah. Di beberapa
sekolah, seminggu atau beberapa hari menjelang ujian nasional, siswa
diasramakan, dikarantina, dan dipusatkan konsentrasinya. Dan tidak
jarang di malam terakhir diadakan beragam ritual doa bersama, shalat
malam, atau istighatsah. Pendeknya, persiapannya dilakukan dengan
maksimal, bahkan sering kali dengan segala cara. Sayangnya, ternyata
justru tindakan yang kedua itulah yang lebih sering terjadi dan lebih
dianut dengan diam-diam, tetapi semua saling tahu. Ya, tindakan
menghalalkan segala cara. Itulah yang dilakukan dengan bersama-sama,
kompak dan disepakati, antara guru, kepala sekolah dan juga kepala
daerah, dan semua yang terlibat lainnya. Lho kenapa kepala daerah
ikut-ikutan segala? Ternyata, urusan berapa tingkat kelulusan siswa
juga mempengaruhi nilai gengsi para kepala daerah. Semakin banyak yang
lulus di suatu daerah, maka akan semakin naik indeks harga diri sang
kepala daerah. Kesakralan ujian nasional ini bukan main-main, sebab
ujian ini menentukan apakah seorang siswa lulus atau tidak dari
beberapa tahun belajar di sekolah itu. Soal distandarisasi dari pusat,
sehingga tiap daerah, meski tingkat kemampuannya berbeda, akan mendapat
soal yang sama, secara nasional. Soal dikirim ke daerah-daerah dengan
dikawal pasukan polisi, kadang disimpan dulu di kantor Polsek, lalu
dikirim ke masing-masing sekolah, juga dengan pengawalan polisi.
Untuk menjaga agar tidak terjadi hal-hal yang mencurigakan, para
pengawas ujian dibuat silang, guru tidak boleh menjadi pengawas di
sekolahnya, harus menjadi pengawas di sekolah lain. Masih ada lagi
Pengawas Independen, yang biasanya dosen dari perguruan tinggi terkenal.
Disetiap sekolah, ada spanduk dengan tulisan mencolok : Harap Tenang,
Ada Ujian. Lalu, apa yang terjadi ketika pelaksanaan ujian? Ternyata
hampir semua sekolah melakukannya, para siswa diberitahu bagaimana
jawaban yang benar. Bahkan, lembar jawaban masih dikoreksi lagi di
kantor sekolah untuk diganti dengan jawaban yang benar. Dan hasilnya,
begitu pengumuman keluar, semuanya lulus 100%. Kemudian ketika acara
perpisahan, dihadapan walimurid, Kepala Sekolah berpidato :
Alhamdulillah, berkat kerja keras kita, sekolah kita lulus 100%. Itulah
kenyataannya, semua yang terlibat pasti tahu tetapi sama-sama
merahasiakan kecurangan itu. Dan semua tahu bahwa itu bohong, tapi semua
diam, demi jaga gengsi. Apa arti semua ini? Kita sudah menciptakan
sendiri sebuah sistem yang kita sepakati berisi kecurangan demi
kecurangan, atas nama standarisasi penilaian nasional.