Kedokteran Islam VS Barat Zaman Kejayaan Islam
Meski pun dunia kedokteran di Barat pada hari ini harus diakui telah mencapai prestasi yang luar biasa, namun kalau kita bandingkan dengan dunia kedokteran di masa kejayaan umat Islam di masa lalu, kita akan mendapatkan beberapa perbedaan yang amat signifikan.
Tidak ada salahnya bila kita melakukan perbandingan sebagai analisa yang tajam terhadap realitas kehidupan umat Islam di masa lalu dan di masa sekarang.
1. Diorientasikan Untuk Masuk Surga
Para dokter muslim di masa kejayaan Islam di masa lalu sejak mengabdi di dunianya semata-mata untuk mendapatkan nilai pahala yang besar di sisi Allah. Ilmu yang didapatnya itu sejak awal dipelajari dengan motivasi yang jelas, yaitu memudahkan jalannya ke surga, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلىَ الجَنَّةِ
Orang yang meniti jalan dalam rangka menuntut ilmu agama, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju surga. (HR. Muslim)
Para mahasiswa muslim di masa itu belajar dengan sekuat tenaga, menghabiskan masa bertahun-tahun, menekuni buku, melakukan berbagai penelitian di dalam laboratorium, melakukan diskusi dan tanya jawab dengan para dokter yang sudah senior, dengan ikhlas semata-mata karena memandang bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah salah satu bentuk ibadah yang akan membawanya menuju pintu surga.
Berbeda dengan para dokter di Barat hari ini, yang mereka umumnya tidak percaya adanya kehidupan setelah mati. Sehingga motivasi mereka jauh dari urusan akhirat. Semuanya belajar hanya karena motivasi duniawi, bisa karena hobi dan kesenangan, bisa juga sekedar untuk membuktikan bahwa dirinya mampu kuliah di fakultas kedokteran, atau sekedar untuk bisa hidup enak jadi dokter dengan banyak pemasukan dan pendapatan.
2. Kewajiban Agama
Umat Islam di masa lalu ketika belajar ilmu kedokteran dan kemudian berpraktek sebagai dokter yang menjalani usaha untuk menyembuhkan, dilatar-belakangi dengan kefahaman bahwa semua itu hukumnya bukan hanya sunnah, tetapi sudah mencapai derajat fardhu kifayah.
Dalam hal perintah untuk mencari kesembuhan atas suatu penyakit, Rasulullah SAW telah bersabda :
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءَ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ: إِنَّ اللهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءُ فَتَدَاوُوا وَلاَ تَتَدَاوُوا بِحَرَامٍ
Dari Abi Ad-Darda` radhiyallahuanhu bahwa Nabi saw. bersabda,`Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat. Dan Dia menjadikan buat tiap-tiap penyakit ada obatnya. Maka, makanlah obat, tapi janganlah makan obat dari yang haram`. (HR. Abu Daud)
Para dokter muslim meyakini bahwa penyakit dan obat itu turun dari sisi Allah. Maka bila ada penyakit menyerang manusia, ada kewajiban untuk mengobatinya dengan cara mencari obatnya.
Dan kalimat fatadawu (فتداووا) berbentuk fi`il amr atau kata dalam bentuk perintah. Dan yang namanya kata perintah itu aslinya menunjukkan kewajiban. Para ulama punya kaidah dalam hal ini yaitu al-maru lil wujub (الأمر للوجوب).
Namun karena tidak semua orang punya bakat dan minat pada bidang kesehatan dan kedokteran, para ulama sepakat tidak menjadikan belajar ilmu kedokteran ini sebagai kewajiban yang sifatnya individual, melainkan bersifat kolektif (fardhu kifayah).
3. Tolong Menolong
Islam adalah agama yang mendorong tiap manusia untuk selalu memberikan pertolongan kepada orang lain. Menyembuhkan orang lain termasuk di antara sekian banyak bentuk tolong menolong yang nyata. Di dalam Al-Quran Al-Karim Allah SWT telah memerintahkan tolong menolong dengan sesama :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.(QS. Al-Maidah : 2)
Dan Rasulullah SAW telah memerintahkan setiap muslim untuk dapat bermanfaat buat saudaranya lewat hadits beliau :
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَنْفَعْهُ
Siapa yang mampu untuk dapat bermanfaat buatsaudaranya, maka berilah manfaat (HR. Muslim)
Sementara sejak lahirnya dunia kedokteran di Eropa di masa-masa kebangkitan kapitalisme, maka urusan menyembuhkan orang lain pun ikut-ikutan terseret arus bisnis dan jual-beli. Motonya adalah : Kalau mau sehat harus bayar. Kalau tidak mampu bayar, jangan mengharapkan kesehatan.
Sejarah rumah sakit berbayar justru dimulai di Barat. Sedangkan dunia Islam di masa kejayaannya tidak mengenal rumah sakit yang berbayar. Semua pasien dirawat dengan gratis, tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Justru pasien yang dirawat itu malah diberi uang pengganti dari kerugiannya tidak bekerja selama beberapa hari.
Sejarah bahwa seorang dokter harus dibayar mahal hingga menjadi kaya raya, sejarahnya juga dimulai di Barat. Para dokter muslim di masa itu umumnya sejak dini telah mendedikasikan seluruh hidupnya demi kepentingan umat dan khalayak.
Ketika mereka mengobati orang lain, judul besarnya adalah amal jariyah, bukan mencari sesuap nasi dan sebongkah berlian. Industri farmasi yang bisa menjual obat dengan harga semahal-mahalnya, juga berasal dari Barat. Di dunia Islam, meski ada begitu banyak diproduksi obat-obatan, tidak ada satu pun yang diperjual-belikan. Obat-obatan itu diberikan dengan cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkannya.
Di masa itu dunia Islam tidak mengenal istilah `menebus obat`. Bahkan segala bentuk penemuan ilmiyah, yang kalau terjadi di dunia Islam dianggap sebagai bentuk persembahan, pengabdian, serta amal jariyah sang penemu, maka di Barat semua itu harus ada harganya.
Berbagai jenis penemuan obat-obatan kemudian dipatenkan, sehingga tidak boleh ada pihak yang memproduksinya, kecuali dengan membayar royalti kepada pihak yang mempatenkan.
Celakanya, pihak yang mempatenkan suatu obat, belum tentu dia yang paling berjasa dalam penemuan tersebut. Bisa saja dia mencuri atau mendapatkannya dengan cara-cara yang licik. Misalnya, seorang dari Eropa datang ke dunia Islam, lalu belajar dari para dokter muslim tentang resep suatu obat tertentu. Ketika dia pulang ke Eropa, dia patenkan obat itu seolah-olah dirinya itulah penemunya.
Padahal obat itu sudah dipakai ratusan tahun sebelumnya di dunia Islam, tanpa ada urusan paten-patenan. Kasusnya mirip dengan balada dengan tempe di negeri kita. Sejak ratusan tahun yang lalu nenek moyang kita sudah makan tempe, tiba-tiba ada satu negara yang mempatenkan tempe dan sekonyong-konyong diklaim sebagai hasil karya mereka.
4. Dasar Ilmiyah
Ilmu kedokteran di dunia Islam berkembang karena ada perintah untuk selalu melakukan penelitian, pengkajian serta penggunaan otak dan akal. Al-Quran berkali-kali menyindir manusia untuk menggunakan akalnya.
فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا كَذَلِكَ يُحْيِي اللّهُ الْمَوْتَى وَيُرِيكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Lalu Kami berfirman: "Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu !" Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti. (QS. Al-Baqarah : 73)
وَهُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ أَفَلا تَعْقِلُونَ
Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya? (QS. Al-Mukminun : 80)
Sementara dunia kedokteran di Barat, meski pun Nabi Isa alahissalam dikenal sebagai tabib yang pandai mengobati orang sakit, namun di masa itu ilmu kedokteran yang ilmiyah dan menggunakan nalar serta penelitian yang logis malah tidak berkembang. Sebaliknya justru yang berkembang malah mitologi dan berbagai kepercayaan aneh-aneh.
Mereka mengobati orang dengan menggunakan asap dupa, lewat perantaraan para makhluq halus, ilmu sihir dan perdukunan. Setiap ada orang terkena penyakit, selalu ada pihak-pihak yang dicurigai telah melakukan santet, teluh dan sejenisnya.
Sehingga hal itu membuat para dukun laris manis didatangi para pesakitan yang minta tolong diusirkan roh yang merasukinya. Pendeknya, di masa itu dunia kedokteran Barat tidak layak disebut kedokteran, tetapi lebih tepat untuk disebut perdukunan yang jauh dari ilmu pengetahuan.
Dalam dua peristiwa yang dikisahkan Usamah bin Munqiz dalam buku Al-I`tibar kita dapat melihat sejauh mana kebodohan tentara-tentara Salib Barat terhadap ilmu kedokteran, dan sejauh mana pengetahuan dokter-dokter mereka. Usamah mengatakan, ada salah satu keanehan dalam kedokteran mereka (orang-orang Barat).
Selanjutnya Usamah berkata, Penguasa Manaitharah pernah menulis surat kepada pamanku. Penguasa minta dikirimkan seorang dokter untuk mengobati sahabat-sahabatnya yang sakit. Pamanku mengirimkan dokter Nasrani bernama Tsabit. Tak sampai sepuluh hari dokter itu sudah kembali. Kami berkata kepadanya,`Betapa cepat Anda mengobati orang-orang sakit`.
Dokter itu lalu berkata,`Mereka membawa kepadaku seorang prajurit berkuda yang terdapat bisul di kakinya dan seorang perempuan yang pucat sekali. Aku mengopres prajurit itu sehingga pecah bisulnya dan akhirnya dia sembuh, sedangkan perempuan itu aku hangatkan dan aku segarkan kembali tubuhnya`.
Kemudian datang kepada mereka seorang dokter Barat. Dia berkata,`Orang ini tidak mengetahui cara mengobati mereka`. Lalu dokter Barat bertanya kepada si prajurit,`Mana yang lebih engkau sukai, hidup dengan satu kaki atau mati dengan dua kaki?`.
Prajurit itu menjawab,`Hidup dengan satu kaki`. Dokter itu berkata,`Panggilkan seorang prajurit dan kuat dan kapak yang tajam!`. Setelah prajurit dan kapak yang dimaksud sudah ada, dokter itu lalu meletakkan betis prajurit yang berbisul itu di lobang papan dan berkata,`Potonglah kakinya dengan kapak itu!`.
Prajurit yang kuat itu mengayunkan kapaknya sekali tetapi kaki itu tidak putus. Maka diulanginya sekali lagi sehingga mengalir sumsum tulang betis itu dan prajurit itu tewas seketika.
Sedangkan pasien perempuan, tindakan yang dilakukan oleh si dokter Salib itu adalah menyuruh perempuan itu direndam di dalam air panas. Seketika itu juga di pasien perempuan itu langsung meninggal dunia.
Sangat boleh jadi besarnya korban di pihak Eropa dari perang Salib selama 200-an tahun bukan karena mereka mati di medan perang, tetapi karena buruknya dunia kedokteran mereka, sehingga tidak bisa merawat pasien yang terluka, akhirnya malah pada mati.
Al-Ustadz Dr. Mustafa As-Siba`i yang menulis kitab Min Rawai`i Hadharatina menyimpulkan pada bagian akhir bab tentang kedokteran di masa kejayaan Islam sebagai berikut :
a. Dalam pengaturan rumah sakit, peradaban kita lebih dahulu dari orang-orang Barat, sekurang-kurangnya tujuh abad.
b. Rumah sakit-rumah sakit kita berpijak pada rasa kemanusiaan yang mulia yang tak ada bandingannya dalam sejarah dan tidak pula dikenal oleh orang-orang Barat sampai sekarang.
c. Kita adalah umat paling dahulu mengenal pengaruh besar musik, komedi dan sugesti dalam penyembuhan orang-orang sakit.
d. Dalam mewujudkan solidaritas sosial kita telah mencapai batas yang tidak pernah dicapai oleh peradaban Barat hingga sekarang, yakni ketika kita memberikan perawatan, pengobatan dan makanan kepada para pasien secara gratis.
Bahkan kepada yang miskin kita memberikan sejumlah uang uang bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sampai mampu bekerja.
Ahmad Sarwat, Lc
(bersambung) * Tulisan ini adalah petikan dari bab pertama buku jilid ke-13 dari : Seri Fiqih Kehidupan (13): Kedokteran** Silahkan copy dan sebarkan dengan menyebutkan sumber