Ingat !!! Ramadhan Hampir Menjelang Jangan Lupa Qadha Puasa


 

Ramadhan Hampir Menjelang Jangan Lupa Qadha Puasa

Kurang dari sebulan lagi kita akan segera masuk ke bulan Ramadhan lagi. Sekedar mengingatkan saja, bahwa bila punya hutang puasa di tahun lalu, segera lah bayarkan hutang itu, sebelum jatuh Ramadhan tahun ini.

Bayar hutang puasa itu disebut juga dengan puasa Qadha', yang hukumnya termasuk puasa wajib. Ketika seseorang meninggalkan kewajiban ibadah puasa, maka ada konsekuensi yang harus dikerjakan.

Konskuensi itu merupakan resiko yang harus ditanggung karena meninggalkan kewajiban puasa yang telah ditetapkan. Adapun bentuknya, ada beberapa macam, di antaranya adalah qadha' (mengganti puasa di hari lain), membayar fidyah (memberi makan fakir miskin) dan membayar kaffarah (denda).

Masing-masing bentuk itu harus dikerjakan sesuai dengan alasan tidak puasanya. Pada bab ini kita akan secara khusus membahas tentang masalah qadha' puasa.

A. Pengertian

1. Bahasa


Qadha' dalam bahasa Arab artinya adalah hukum (الحكم) dan penunaian (الأداء). 

2. Istilah
Sedangkan qadha secara istilah dalam ibadah, menurut Ibnu Abidin adalah :


 فِعْل الْوَاجِبِ بَعْدَ وَقْتِهِ

Mengerjakan kewajiban setelah lewat waktunya.

 Sedangkan Ad-Dardir menyebutkan makna istilah qadha' sebagai :

 اسْتِدْرَاكُ مَا خَرَجَ وَقْتُهُ

Mengejar ibadah yang telah keluar waktunya

Bila suatu ibadah dikerjakan pada waktu yang telah lewat, disebut dengan istilah qadha. Sedangkan bila dikerjakan pada waktunya, disebut adaa' (أداء).

Sedangkan bila sebuah ibadah telah dikerjakan pada waktunya namun diulangi kembali, istilahnya adalah i'adah (إعادة). Qadha‘ puasa maksudnya adalah berpuasa di hari lain di luar bulan Ramadhan, sebagai pengganti dari tidak berpuasa pada bulan itu.

B. Penyebab Qadha'

Tidak semua orang diwajibkan mengqadha' puasanya. Hanya orang-orang tertentu saja yang diwajibkan. Mereka itu adalah para wanita yang mendapat haidh dan nifas, orang yang sakit, orang yang dalam perjalanan, wanita yang menyusui dan hamil serta orang yang mengalami batal puasa. Berikut adalah rincian dari mereka yang wajib mengqadha' puasa.

1. Wanita Haidh dan Nifas Wanita yang mendapatkan haidh dan nifas, bukan hanya boleh tidak berpuasa Ramadhan, bahkan mereka diharamkan menjalankan puasa. Namun haramnya mereka berpuasa bukan berarti bebas dari hutang, karena pada dasarnya puasa tetap wajib bagi mereka. Dan untuk itu ada kewajiban untuk menggantinya di hari lain, atau yang kita sebut dengan qadha' puasa.

Dasarnya ketentuan adanya qadha' bagi wanita yang haidh dan nifas bila tidak berpuasa adalah penjelasan dari ummul-mukminin Aisyah radhiyallahuanha :

 كُنَّا نَحِيضُ عَلىَ عَهْدِ رَسُولِ الله فَنُؤْمَرُ بِقَضاَءِ الصَّومِ

Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata,"Dahulu di zaman Rasulullah SAW kami mendapat haidh. Maka kami diperintah untuk mengganti puasa. (HR.Muslim)

Bila haidh atau nifas terjadi di tengah-tengah hari ketika seorang wanita sedang berpuasa, maka puasanya itu batal hukumnya dan dia diwajibkan untuk menggantinya di hari lain, setelah haidh atau nifasnya itu telah selesai.

Bila wanita itu tetap nekat tidak makan minum ketika haidh, dengan niat untuk tetap meneruskan puasanya, padahal dia sudah mengetahui keadannya yang mendapat darah haidh atau nifas, maka dia berdosa.

2. Orang Sakit

Orang yang sakit dan khawatir bila berpuasa akan menyebabkan bertambah sakit atau kesembuhannya akan terhambat, maka dibolehkan berbuka puasa. Namun apabila telah sehat kembali, maka dia diwajibkan untuk mengganti puasa yang tidak dilakukannya itu pada hari lain.

Dasarnya adalah firman Allah SWT :

 فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan, (boleh tidak puasa), namun wajib menggantinya pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah : 184)

5. Musafir
Orang yang bepergian mendapat keringanan untuk tidak berpuasa, sebagaimana dalil ayat Al-Quran di atas. Namun meski dibolehkan berbuka, sesungguhnya seseorang tetap wajib menggantinya di hari lain. Jadi bila tidak terlalu terpaksa, sebaiknya tidak berbuka. Hal ini ditegaskan dalam hadits Rasulullah SAW: Dari Abi Said al-Khudri RA. Berkata,”Dulu kami beperang bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan. Diantara kami ada yang tetap berpuasa dan ada yang berbuka. …Mereka memandang bahwa siapa yang kuat untuk tetap berpuasa, maka lebih baik.” (HR. Muslim : 1117, Ahmad : 3/12 dan Tirmizy : 713)

4. Wanita Menyusui atau Hamil


Wanita yang menyusui dan hamil karena alasan kekhawatiran pada diri sendiri. Mereka dibolehkan tidak berpuasa karena dapat digolongkan sebagai orang sakit

5. Batal Puasa


Orang yang batal puasanya karena suatu sebab seperti muntah, keluar mani secara sengaja, makan minum tidak sengaja dan semua yang membatalkan puasa. Tapi bila makan dan minum karena lupa, tidak membatalkan puasa sehingga tidak wajib mengqadha‘nya.

C. Waktu Qadha'

1. Tenggang Waktu


Para ulama sepakat bahwa masa yang telah ditetapkan untuk mengqadha' puasa yang terlewat adalah setelah habisnya bulan Ramadhan sampai bertemu lagi Ramadhan di tahun depan. Dasarnya adalah firman Allah SWT :

 وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, boleh tidak berpuasa namun harus mengganti di hari yang lain. (QS. Al-Baqarah : 185)

 Namun para ulama berbeda pendapat kalau selama setahun sampai bertemu lagi bulan Ramadhan di tahun kemudian, ternyata hutang puasa itu masih belum dibayarkan. Sebagian fuqaha seperi Imam Malik, Imam as-Syafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa harus mengqadha‘ setelah Ramadhan dan membayar kaffarah (denda).

Perlu diperhatikan meski disebut dengan lafal ‘kaffarah', tapi pengertiannya adalah membayar fidyah, bukan kaffarah dalam bentuk membebaskan budak, puasa 2 bulan atau memberi 60 fakir miskin.

Dasar pendapat mereka adalah qiyas, yaitu mengqiyaskan orang yang meninggalkan kewajiban mengqadha‘ puasa hingga Ramadhan berikutnya tanpa uzur syar‘i seperti orang yang menyengaja tidak puasa di bulan Ramadhan.

Karena itu wajib mengqadha‘ serta membayar kaffarah (bentuknya Fidyah). Sebagian lagi mengatakan bahwa cukup mengqadha‘ saja tanpa membayar kaffarah. Pendapat ini didukung oleh Mazhab Hanafi, Al-Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha‘i. Menurut mereka tidak boleh mengqiyas seperti yang dilakukan oleh pendukung pendapat di atas. Jadi tidak perlu membayar kaffarah dan cukup mengqadha‘ saja.

2. Berturut-turut Atau Dipisah-pisah?
Jumhur ulama tidak mewajibkan dalam mengqadha‘ harus berturut-turut karena tidak ada nash yang menyebutkan keharusan itu.

Sedangkan Mazhab Zahiri dan Al-Hasan Al-Bashri mensyaratkan berturut-turut.

 Dalilnya adalah hadits Aisyah yang menyebutkan bahwa ayat Al-Quran dulu memerintahkan untuk mengqadha secara berturut-turut. Namun menurut jumhur, kata-kata ‘berturut-turut' telah dimansukh hingga tidak berlaku lagi hukumnya.

Namun bila mampu melakukan secara berturut-turut hukumnya mustahab menurut sebagian ulama.

D. Qadha' Puasa Untuk Orang Lain


Para ulama sepakat apabila ada seorang muslim yang sakit dan tidak mampu berpuasa, lalu belum sempat dia membayar hutang puasanya, terlanjur meninggal dunia, maka hutang-hutang puasanya itu terhapus dengan sendirinya.

Namun bila orang yang sakit itu sempat mengalami kesembuhan, namun belum sempat membayar hutang puasanya, lalu kemudian dia meninggal dunia, para ulama berbeda pendapat tentang hukum membayar puasanya, apakah kelaurganya harus berpuasa qadha' untuk mengganti hutang puasa almarhum, ataukah cukup dengan membayar fidyah saja?

Penyebab perbedaan pendapat ini adalah adanya dua dalil yang bertentangan.

Dalil pertama adalah dalil yang menyebutkan bahwa keluarganya harus berpuasa qadha' untuk mengganti hutang.

Sedangkan dalil yang kedua menyebutkan bahwa penggantian itu bukan dengan puasa qadha', melainkan cukup dengan membayar fidyah.

1. Keluarga Berpuasa Qadha' Untuknya

Pendapat ini banyak didukung oleh para ahli hadits, termasuk para ahli hadits di kalangan mazhab Asy-Syafi'iyah. Juga didukung oleh pendapat Abu Tsaur, Al-Auza'i, serta mazhab Adz-Dzahiriyah. Dalil yang mereka gunakan adalah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Aisyah radhiyallahuanha :

 مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Orang yang meninggal dunia dan meninggalkan hutang puasa, maka walinya harus berpuasa untuk membayarkan hutangnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Jelas sekali dalam hadits ini disebutkan bahwa wali atau keluarga almarhum diharuskan berpuasa qadha' untuk membayar hutang puasa yang bersangkutan.

2. Cukup Membayar Fidyah


Sedangkan pendapat kedua adalah pendapat dari jumhur ulama fiqih, seperti mazhab Asy-Syafi'iyah dalam qaul jadid serta mazhab Al-Hanabilah.

Dasarnya adalah hadits yang melarang qadha' puasa untuk orang lain :

 لاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلاَ يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدٌّ مِنْ حِنْطَةٍ

Janganlah kamu melakukan shalat untuk orang lain, dan jangan pula melakukan puasa untuk orang lain. Tetapi berilah makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa, satu mud hinthah untuk sehari puasa yang ditinggalkan. (HR. An-Nasa'i)

Dalam hal ini pandangan mazhab Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah agak sedikit berbeda. Mereka mensyaratkan harus ada wasiat dari almarhum, untuk membayarkan hutangnya dalam bentuk memberi fidyah.  

Oleh;

Ahmad Sarwat, Lc., MA

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »