Bergembira Datang Ramadhan Aman Dari Neraka?
Salah satu hadits yang paling populer terutama menjelang datangnya bulan Ramadhan, karena selalu diulang-ulang di tiap pengajian atau acara penyambutan Ramadhan (belakangan populer disebut tarhib) adalah hadits yang menjamin orang akan diharamkan dari api neraka, apabila dia bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan.Petikan nashnya demikian :
مَنْ فَرِحَ بِدُخُولِ رَمَضَانَ حَرَّمَ اللهُ جَسَدَهُ عَلىَ النِّيْرَانِ
Siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka.
Para penceramah asyik sekali mengutip hadits ini, tanpa tahu dari mana sebenarnya teks ini berasal. Pokoknya, siapa yang bergembira dengan datangnya bulan Ramadhan, maka dijamin dia pasti akan aman dari siksa api neraka, karena Allah SWT sudah mengahramkan jasadnya dari api neraka.
Boleh jadi karena ungkapan inilah banyak orang yang melakukan berbagai aktifitas menjelang bulan Ramadhan, ada yang bersih-bersih rumah, bahkan sampai mengecat ulang, atau menambahi bagian rumah disana-sini. Sebagian masyarakat ada yang kalau menjelang Ramadhan tidak pernah lepas dari membakar petasan dan kembang api, seolah-olah bentuk kegembiraan itu belum sah tanpa petasan dan kembang api.
Mungkin dianggapnya itu bagian dari upaya agar hati bergembira, biar tidak dibakar neraka, entahlah dan tidak jelas. Yang pasti, tukang bikin petasan dan penjualnya, sudah pasti berbahagia. Sebagian masyarakat yang lain ada yang memborong bahan makanan dan kue-kue sejak sebelum Ramadhan, termasuk baju-baju yang nanti sebulan lagi mau dikenakan saat lebaran. Intinya, banyak orang yang berupaya menyambut bulan Ramadhan dengan keceriaan dan kebahagiaan, dan semakin mantap ketika dibumbui dengan hadits di atas.
Dari Mana Sumbernya?
Sebuah pertanyaan yang mendasar, kalau memang ungkapan di atas itu sebuah hadits, lalu siapa perawinya dan di kitab hadits yang mana bisa kita dapatkan? Pertanyaan seperti ini kalau kita sampaikan kepada para penceramah itu, biasanya mereka bilang, yang penting kita mengamalkan isinya, urusan haditsnya shahih atau tidak, tidak terlalu penting, toh isinya kan baik. Masak sih masuk bulan Ramadhan, kita tidak boleh bergembira? Bukankah bulan Ramadhan itu bulan pengampunan, amal-amal dilipat- gandakan, malamnya lebih baik dari seribu bulan? Masak kita malah sedih? Begitu biasanya jawaban dari para penceramah, yang pada dasarnya tidak punya jawaban pasti dari mana dia dapat hadits itu.
Dosen saya, Prof. KH. Ali Musthafa Ya'qub MA, dalam bukunya, Hadits-hadits Bermasalah di Bulan Ramadhan, menuliskan bahwa hadits dengan teks seperti di atas itu terdapat dalam kitab Durroh al-Nashihin karya Utsman al-Khiubbani. Kitab ini termasuk kitab favorit para guru ngaji, ustadz dan ustadzah kalau mengajar pakai kitab ini, bisa bercerita panjang lebar.
Dan para jamaahnya juga senang dibacakan hadits-hadits yang ada di dalam kitab ini, karena haditsnya bombastis. Amal-amal yang kecil, sederhana dan sepele, seringkali dihargai dengan balasan yang besar, berlipat ganda dan tidak main-main.
Sayangnya kitab ini oleh para ahli hadits disebut-sebut sebagai kitab yang penuh dengan hadits-hadits palsu dan kisah imajinasi. Dalam kitab itu, hadits ini disebutkan siapa perawinya dan apa kualitasnya. Kitab Durroh al-Nashihin sendiri bukan termasuk kitab hadits. Ia termasuk kitab akhlak yang berisi nasehat-nasehat untuk berperilaku luhur.
Memang, di dalamnya ada ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits yang shahih, tetapi bersama dengan ayat dan hadits shahih, tersebar juga hadits-hadits yang palsu dan kisah-kisah imajinasi. Sayangnya, para pembaca kitab ini tidak dapat menyeleksi mana hadits yang shahih, dan mana Hadits yang palsu, karena sama sekali tidak dijelaskan.
Semuanya bercampur aduk menjadi satu, kemudian menyebar begitu saja lewat berbagai macam pengajian. Prof. KH. Ali Musthafa Ya'qub MA sendiri mengaku telah mencoba melacak hadits tersebut di kitab-kitab rujukan hadits, untuk mengetahui siapa rawinya, kemudian diteliti apa kualitasnya.
Namun sayang, sampai hari ini beliau tetap tidak mendapatkan apa yang beliau cari itu, sehingga beliau tidak berani menyatakan bahwa ungkapan tersebut di atas adalah sebuah hadits Nabi SAW. Karenanya, paling tidak untuk sementara sampai ditemukan rawi dan kualitasnya, beliau menegaskan bahwa ungkapan tersebut bukan sebuah hadits Nabi SAW.
Dan beliau menyatakan tidak tahu siapa yang pertama kali mengucapkan ungkapan itu. Yang jelas, bila ungkapan itu dinisbahkan kepada Nabi SAW, maka hal itu menjadi hadits palsu.